Selasa, 21 Juni 2016

Kalimat-Kalimat Problematic Edisi Indonesia I (Klasisme, Ableism, Homofobia, Transfobia)


Siapa disini yang gak pernah menggunakan kata yang kasar? Kalau lo belum pernah, mendingan lo cepat-cepat ikut programnya NASA karena lo pasti bukan manusia.

Anyway, gue pengen kasih tahu suatu kabar basi: I love to curse. I just love it a lot, especially with the f word (not fork or f****t by the way). Sayangnya, ada saatnya kata-kata yang kita ucapkan merandahkan suatu kelompok. Most of the time, kelompok tersebut adalah kelompok yang mengalami diskriminasi dan opresi, seperti komunitas LGBTQIA+, orang miskin, orang penyandang disabilitas, dll.

Wait,gue bukan ahli social justice!!!  Kata-kata seperti apa yang berkontribusi terhadap opresi kaum termarginalisasi?

Berikut adalah beberapa kata yang tidak boleh digunakan sebagai ejekan.
 
1.       Klasisme


Kata-kata yang berhubungan dengan klasisme adalah miskin, gembel, dsb. Sebenarnya tidak ada yang salah dari orang miskin atau menggunakan kata miskin untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau orang. Namun yang bermasalah adalah ketika kita menggunakan kata miskin dan gembel sebagai bahan ejekan.

Gembel banget sih, lo.”

“Aduh, gue kelihatan kayak orang miskin.”

“Cokelat anti-gembel.”

“Makanya, jadi orang jangan miskin.”

 
Atau ada yang ingat lagu ini?

Jingle bell, jingle bell,

Bapak lo gembel


Kalimat-kalimat seperti itu mengimplikasikan bahwa menjadi miskin adalah sesuatu yang buruk dan memalukan. Bukan berarti kemiskinan adalah sesuatu yang membahagiakan, but is it really awful ketika lo gak mampu beli ayam goreng di restorant fast food? Apakah suatu kesalahan kalau orang pakai barang bekas saudaranya? Apakah orang harus malu karena mereka tinggal di tempat yang kumuh, atau punya rumah yang kecil?

Lama-kelamaan, kita tidak hanya memandang kemiskinan sebagai sesuatu yang buruk, tapi kita memandang orang miskin sebagai sesuatu yang buruk juga. Kita dengan cepat mengeneralisasikan orang miskin sebagai beban masyarakat instead of REAL people yang punya perasaan dan pantas dihormati seperti Bill Gates. Yes, even him.

Menggunakan kata miskin ketika lo sekedar gak bisa beli merchandise terbaru Star Wars atau gak bisa nonton IMAX juga bermasalah. Ada bedanya antara miskin dan bokek. Bokek bersifat semantara, sedangkan kemiskinan sangat jarang bersifat sementara. Selain itu, dengan mudah menggunakan kata bokek, kita undermining atau meremehkan kemiskinan sebenarnya.

Ada bedanya bingung budgeting liburan di luar kota dengan budgeting beli beras dan lauk buat besok.

Selain itu, gue rasa masyarakat yang tidak miskin harus berhenti menggunakan kata gembel. Sama seperti ni***r, re**rd, dan f****t, kata gembel digunakan untuk mendevaluasi sekelompok orang.

 
2.       Ableism


Nah, kata-kata yang bersifat ableist sering muncul ketika kita menabrak orang dan kesusahan berkomunikasi dengan orang.


“Punya mata gak sih lo?!! Jalan lihat-lihat!”

“Ih! Budek banget sih! *teriak*”

“Aduh, ngomong yang keras! Jangan kayak orang bisu!”

“Serem banget dah tuh anak. Kelakuannya kayak orang autis.”
 

Excuse me, tapi memang ada orang yang buta, tuli, bisu, dan autis beneran.

Menabrak orang (most likely) gak sengaja tidak sama dengan tidak bisa melihat atau punya kemampuan melihat yang sangat kecil.

Tidak mendengan perkataan orang dengan jelas tidak sama dengan tuli.

Berbicara dengan suara yang pelan tidak sama dengan bisu.

Berlaku dengan ‘aneh’ tidak sama dengan autis, dan orang pada spektrum autisme tidak menyeramkan.

Menggunakan kata-kata seperti itu memandang disabilitas sebagai sesuatu yang by default tragedi (which supports the trope lebih baik mati daripada menyandang disabilitas (*cough Me Before You *cough)), mendevaluasi orang penyandang disabilitas, dan meremehkan disabilitas sesungguhnya.

Menggunakan disabilitas sebagai metafor pun juga bermasalah.

 

“Dia gagal melihat konsep tersebut.” Tidak, dia gagal memahami konsep tersebut.

“Orang kulit putih memang sering menutup telinga tentang rasisme.” Tidak, orang kulit putih memang sering mengacuhkan rasisme.

“Rezim Soeharto lumpuh di tahun 1998.” Tidak, rezim Soeharto kehilangan kekuasaan di tahun 1998.

 

Dan masih banyak contoh lainnya. Menggunakan disabilitas sebagai metafor tidak hanya mengurangi efek dari disabilitas sesungguhnya, tapi kita juga menyamakan disabilitas sebagai suatu kegagalan untuk memahami sesuatu.  Kenyatannya, orang buta masih bisa berkomunikasi dengan berbicara dan huruf braile. Orang tuli masih bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan beberapa bisa membaca bibir. Orang lumpuh yang tidak punya masalah dengan pendengangaran dan penglihatan jelas bisa berkomunikasi, dan beberapa dari mereka bisa bergerak dengan tongkat atau kursi roda. Menggunakan disabilitas sebagai metafor juga membuat kita fokus pada disabilitas seseorang instead of memandang mereka sebagai orang yang komplit dan kompleks. Ini tidak berarti kita harus ignorant atau berpura-pura tidak tahu mengenai disabilitas seseorang, tapi bukan berarti kita berfokus pada itu saja.

Konsep ini juga berlaku pada mental disorder atau disabilitas mental.


“Buset, tuh cewek kelihatannya anorexic.” Gak, gue yakin yang lo maksud adalah cewek itu kelihatan kurus.

“Mood gue kayak orang bipolar deh.” Hanya karena mood lo lagi berantakan untuk sesaat bukan berarti lo punya penyakit bipolar disorder.

Oh my god, we’re so OCD.” Terobsesi dengan kerapihan dan keteraturan tidak sama dengan punya penyakit OCD.


Ableist slur yang harus dihindari: retard, moron, crippled, imbecile, idiot, cacat. Kata-kata tersebut hanya bisa digunakan komunitas penyandang disabilitas yang terpengaruh. Gunakan kata autis dan disabilitas lainnya untuk mendeskripsikan disabilitas sesungguhnya, dan gunakan kata cacat untuk penyandang cacat saja.

 
3.       Heteronormative (menjadikan heterosexual sebagai “normal” dan lebih baik daripada bentuk seksualitas lainnya)

 
Tadinya gue ingin menggunakan kata queerphobia karena kalau pakai homofobia, bifobia, dan transfobia kayaknya kepanjangan. Tapi gue belum paham dengan istilah queer secara dalam dan istilah tersebut punya makna yang terlalu panjang. Setelah itu gue sadar gue masih kurang bisa membedakan heteronormative dan homofobia. So, that’s why the title is so long, lol.

 
“Cowoknya* ganteng ya, sayang dia gay.” (Come on, bitch. What the fuck is wrong with being gay? Go fuck yourself).

“Eh, mana mungkin Diana (cewek*) pacaran sama Ayu (cewek*)? Gak make sense.

[Mendeskripsikan penyanyi laki-laki*] “Suaranya dia melelehkan kaum Hawa*.”

“Mana ada kunci sama kunci? Yang ada tuh kunci sama gembok dan begitu seturusnya!” (gue sering baca komen kayak gini di YouTube Indonesia. Don’t worry, Dolores Umbridge tell me not to tell lies.)

*ngomong ke cewek*”Kamu kapan dapet cowok*?”

 

Hari ini kita berkabung karena ini tahun 2016 dan masih banyak orang tidak acknowledging orang non-heterosexual seperti orang homoseksual, biseksual, panseksual, dan aseksual. Semoga jiwa mereka mendapat berkat dari yang kuasa…atau dari internet.

We exist people. We’re not just movie or book’s characters. We are real people in real life with not-so-hetero attraction. Perhaps you communicated with us in your past, perhaps you know us in your present, or perhaps we will meet in the future. We exist.

Homophobic slur yang harus dihindari: faggot, dyke, bencong, lesbong, banci. Gunakan kata gay untuk orang yang 100% gay dan bukan orang yang lo duga gay (I’m looking at you international kpop fans who keeps saying gay-ass band or that band is totally gay). Faggot dan dyke hanya bisa digunakan oleh komunitas LGBTQI+.

 
4.       Transfobia, Cissexism, dan Pemaksaan Peran Gender


Bahasa-bahasa yang excluding orang-orang non-cis (baik itu trans people atau non-binary gender people) bahkan masih susah gue terapkan.


Hanya wanita yang mengalami menstruasi.”

Cowok kan udah pasti disunat.

 Rahim perempuan adalah organnya yang paling berharga.”

“Yaelah, banci Thailand mah emang cakep, tapi bawahnya…”


Newsflash: tidak semua wanita punya rahim dan tidak semua orang yang punya penis adalah laki-laki. Orang yang punya penis bisa saja transwanita, orang agender, atau orang genderfluid. Orang yang punya ovum bisa saja transpria, orang non-binary gender, atau orang trigender.

Kalimat-kalimat seperti ini tidak hanya meng-exclude orang-orang yang bukan cisgender, tapi mereka bisa menimbulkan gender dysphoria, ataupun stres bagi orang-orang non-cis. Those things are not stuffs that are fun to be handled.

Banyak orang mengatakan bahwa identitas gender seperti spektrum, but my experience is not like that. Contohnya, gue sempat mengidentifikasikan diri gue sebagai non-binary woman. Dua kata itu terlihat sepert oxymoron bukan? Bagaimana mungkin gue bisa menjadi non-binary person dan wanita? Ada salah satu post di Tumblr yang mengatakan bahwa gender itu lebih seperti sphere, kayak yang warna di Paint, tapi yang 3D. Berikut adalah kata-katanya.

 
“If someone isn’t a binary woman, that doesn’t make them less feminine necessary or more masculine. It doesn’t make them slide closer to male on the spectrum. Just like if I make my color slightly different than pink, it’s not necessarily more blue or more green-“ – The Rogue Feminist from tumblr.


“Jika seseorang buka wanita binari (bukan binal loh), itu tidak membuat mereka kurang feminin atau lebih maskulin. Itu tidak membuat mereka lebih dekat ke laki-laki pada spektrum. Sama jika aku membuat warnaku agak berbeda dari pink, itu tidak membuatnya lebih biru atau lebih hijau-“ The Rogue Feminist from tumblr.

 
Get it?

Tidak hanya kalimat-kalimat transfobik yang bermasalah, tapi kalimat-kalimat yang memaksakan peran dan ekspektasi gender pun harus dihentikan.


“Tuh cowok kemayu banget deh.”

“Aduh, cewek kok ketawanya kayak genderuwo gitu.”
 

Emangnya ada yang salah ya kalau cowok tuh ‘kemayu’? Emangnya kalau cowok kemayu, eksistensinya dia membuat lo terancam? Emangnya kalau cewek ketawanya kayak genderuwo, vagina lo bakal menguap kayak barbie gitu? (cr to buzzfeed for that joke)

Gue punya salah satu teman cowok yang di-bully karena dia dipandang sebagai kurang cowok (whatever the fuck that means) daripada rekan-rekan cowoknya. In my opinion, memang dari sananya dia lebih gampang bergaul dengan cewek daripada laki-laki. Fakta itu tidak membuat dia kurang cowok, atau bahkan kurang maskulin.

Gue melihat dia berusaha untuk akrab dengan rekan-rekan cowok di kelas gue. Gue sendiri bisa melihat kadang-kadang dia menyembunyikan rasa sakitnya dia.

Truthfully, some of my classmates think it’s a good idea to make my friend to be manlier or some shit like that. But let’s be real here, membuat dia lebih ‘maskulin’ menghapus sebagian dari jati dirinya. And why would anybody think it’s a good idea to erase a part of someone’s soul, especially if it doesn’t hurt anyone?

Kalau cerita ini gak membuat lo sadar bahaya dari gender roles reinforcement, you’re a hopeless case.
 
Berhubung nih artikel panjang banget, makanya gue bagi jadi dua bagian. Semoga gue bisa update besok ya :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar