Siapa disini yang gak pernah menggunakan kata yang kasar?
Kalau lo belum pernah, mendingan lo cepat-cepat ikut programnya NASA karena lo
pasti bukan manusia.
Anyway, gue pengen
kasih tahu suatu kabar basi: I love to
curse. I just love it a lot, especially with the f word (not fork or f****t by the way). Sayangnya, ada saatnya
kata-kata yang kita ucapkan merandahkan suatu kelompok. Most of the time, kelompok tersebut adalah kelompok yang mengalami
diskriminasi dan opresi, seperti komunitas LGBTQIA+, orang miskin, orang
penyandang disabilitas, dll.
Wait,gue bukan
ahli social justice!!! Kata-kata seperti apa yang berkontribusi
terhadap opresi kaum termarginalisasi?
Berikut adalah beberapa kata yang tidak boleh digunakan
sebagai ejekan.
Kata-kata yang berhubungan dengan klasisme adalah miskin,
gembel, dsb. Sebenarnya tidak ada yang salah dari orang miskin atau menggunakan
kata miskin untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau orang. Namun yang
bermasalah adalah ketika kita menggunakan kata miskin dan gembel sebagai bahan
ejekan.
“Gembel banget
sih, lo.”
“Aduh, gue kelihatan kayak orang miskin.”
“Cokelat anti-gembel.”
“Makanya, jadi orang jangan
miskin.”
Atau ada yang ingat lagu ini?
Jingle bell, jingle
bell,
Bapak lo gembel
Kalimat-kalimat seperti itu mengimplikasikan bahwa menjadi
miskin adalah sesuatu yang buruk dan memalukan. Bukan berarti kemiskinan adalah
sesuatu yang membahagiakan, but is it
really awful ketika lo gak mampu beli ayam goreng di restorant fast food? Apakah suatu kesalahan kalau
orang pakai barang bekas saudaranya? Apakah orang harus malu karena mereka
tinggal di tempat yang kumuh, atau punya rumah yang kecil?
Lama-kelamaan, kita tidak hanya memandang kemiskinan sebagai sesuatu yang buruk,
tapi kita memandang orang miskin sebagai
sesuatu yang buruk juga. Kita dengan cepat mengeneralisasikan orang miskin
sebagai beban masyarakat instead of REAL
people yang punya perasaan dan pantas dihormati seperti Bill Gates. Yes, even him.
Menggunakan kata miskin
ketika lo sekedar gak bisa beli merchandise
terbaru Star Wars atau gak bisa nonton IMAX juga bermasalah. Ada bedanya
antara miskin dan bokek. Bokek bersifat semantara, sedangkan kemiskinan sangat
jarang bersifat sementara. Selain itu, dengan mudah menggunakan kata bokek,
kita undermining atau meremehkan
kemiskinan sebenarnya.
Ada bedanya bingung budgeting
liburan di luar kota dengan budgeting
beli beras dan lauk buat besok.
Selain itu, gue rasa masyarakat yang tidak miskin harus
berhenti menggunakan kata gembel. Sama seperti ni***r, re**rd, dan f****t, kata
gembel digunakan untuk mendevaluasi sekelompok orang.
Nah, kata-kata yang bersifat ableist sering muncul ketika kita menabrak orang dan kesusahan
berkomunikasi dengan orang.
“Punya mata gak sih lo?!! Jalan lihat-lihat!”
“Ih! Budek banget sih! *teriak*”
“Aduh, ngomong yang keras! Jangan kayak orang bisu!”
“Serem banget dah tuh anak. Kelakuannya kayak orang autis.”
Excuse me, tapi
memang ada orang yang buta, tuli, bisu, dan autis beneran.
Menabrak orang (most
likely) gak sengaja tidak sama dengan tidak bisa melihat atau punya
kemampuan melihat yang sangat kecil.
Tidak mendengan perkataan orang dengan jelas tidak sama
dengan tuli.
Berbicara dengan suara yang pelan tidak sama dengan bisu.
Berlaku dengan ‘aneh’ tidak sama dengan autis, dan orang
pada spektrum autisme tidak menyeramkan.
Menggunakan kata-kata seperti itu memandang disabilitas
sebagai sesuatu yang by default tragedi
(which supports the trope lebih baik
mati daripada menyandang disabilitas (*cough Me Before You *cough)), mendevaluasi orang penyandang disabilitas,
dan meremehkan disabilitas sesungguhnya.
Menggunakan disabilitas sebagai metafor pun juga bermasalah.
“Dia gagal melihat konsep
tersebut.” Tidak, dia gagal memahami konsep
tersebut.
“Orang kulit putih memang sering menutup telinga tentang rasisme.” Tidak, orang kulit putih memang
sering mengacuhkan rasisme.
“Rezim Soeharto lumpuh
di tahun 1998.” Tidak, rezim Soeharto kehilangan
kekuasaan di tahun 1998.
Dan masih banyak contoh lainnya. Menggunakan disabilitas
sebagai metafor tidak hanya mengurangi efek dari disabilitas sesungguhnya, tapi
kita juga menyamakan disabilitas sebagai suatu kegagalan untuk memahami
sesuatu. Kenyatannya, orang buta masih
bisa berkomunikasi dengan berbicara dan huruf braile. Orang tuli masih bisa
berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan beberapa bisa membaca bibir. Orang
lumpuh yang tidak punya masalah dengan pendengangaran dan penglihatan jelas
bisa berkomunikasi, dan beberapa dari mereka bisa bergerak dengan tongkat atau
kursi roda. Menggunakan disabilitas sebagai metafor juga membuat kita fokus
pada disabilitas seseorang instead of memandang
mereka sebagai orang yang komplit dan kompleks. Ini tidak berarti kita harus ignorant atau berpura-pura tidak tahu
mengenai disabilitas seseorang, tapi bukan berarti kita berfokus pada itu saja.
Konsep ini juga berlaku pada mental disorder atau disabilitas mental.
“Buset, tuh cewek kelihatannya anorexic.” Gak, gue yakin yang lo maksud adalah cewek itu kelihatan
kurus.
“Mood gue kayak
orang bipolar deh.” Hanya karena mood lo lagi berantakan untuk sesaat
bukan berarti lo punya penyakit bipolar
disorder.
“Oh my god, we’re so
OCD.” Terobsesi dengan kerapihan dan keteraturan tidak sama dengan punya
penyakit OCD.
Ableist slur yang
harus dihindari: retard, moron, crippled,
imbecile, idiot, cacat. Kata-kata
tersebut hanya bisa digunakan komunitas penyandang disabilitas yang terpengaruh.
Gunakan kata autis dan disabilitas lainnya untuk mendeskripsikan disabilitas
sesungguhnya, dan gunakan kata cacat untuk penyandang cacat saja.
Tadinya gue ingin menggunakan kata queerphobia karena kalau pakai homofobia, bifobia, dan transfobia
kayaknya kepanjangan. Tapi gue belum paham dengan istilah queer secara dalam dan istilah tersebut punya makna yang terlalu
panjang. Setelah itu gue sadar gue masih kurang bisa membedakan heteronormative
dan homofobia. So, that’s why the title
is so long, lol.
“Eh, mana mungkin Diana (cewek*) pacaran sama Ayu (cewek*)?
Gak make sense.”
[Mendeskripsikan penyanyi laki-laki*] “Suaranya dia
melelehkan kaum Hawa*.”
“Mana ada kunci sama kunci? Yang ada tuh kunci sama gembok
dan begitu seturusnya!” (gue sering baca komen kayak gini di YouTube Indonesia.
Don’t worry, Dolores Umbridge tell me not
to tell lies.)
*ngomong ke cewek*”Kamu kapan dapet cowok*?”
Hari ini kita berkabung karena ini tahun 2016 dan masih banyak
orang tidak acknowledging orang
non-heterosexual seperti orang homoseksual, biseksual, panseksual, dan
aseksual. Semoga jiwa mereka mendapat berkat dari yang kuasa…atau dari
internet.
We exist people. We’re
not just movie or book’s characters. We are real people in real life with
not-so-hetero attraction. Perhaps you communicated with us in your past,
perhaps you know us in your present, or perhaps we will meet in the future. We
exist.
Homophobic slur
yang harus dihindari: faggot, dyke, bencong,
lesbong, banci. Gunakan kata gay untuk
orang yang 100% gay dan bukan orang yang lo duga gay (I’m looking at you
international kpop fans who keeps saying gay-ass band or that band is totally gay).
Faggot dan dyke hanya bisa
digunakan oleh komunitas LGBTQI+.
Bahasa-bahasa yang excluding
orang-orang non-cis (baik itu trans
people atau non-binary gender people)
bahkan masih susah gue terapkan.
“Hanya wanita yang
mengalami menstruasi.”
“Cowok kan udah pasti disunat.”
“Rahim perempuan adalah organnya yang paling berharga.”
“Yaelah, banci Thailand mah emang cakep, tapi bawahnya…”
Newsflash: tidak
semua wanita punya rahim dan tidak semua orang yang punya penis adalah
laki-laki. Orang yang punya penis bisa saja transwanita, orang agender, atau
orang genderfluid. Orang yang punya
ovum bisa saja transpria, orang non-binary
gender, atau orang trigender.
Kalimat-kalimat seperti ini tidak hanya meng-exclude orang-orang yang bukan
cisgender, tapi mereka bisa menimbulkan gender
dysphoria, ataupun stres bagi orang-orang non-cis. Those things are not stuffs that are fun to be handled.
Banyak orang mengatakan bahwa identitas gender seperti
spektrum, but my experience is not like
that. Contohnya, gue sempat mengidentifikasikan diri gue sebagai non-binary woman. Dua kata itu terlihat
sepert oxymoron bukan? Bagaimana
mungkin gue bisa menjadi non-binary person
dan wanita? Ada salah satu post di Tumblr yang mengatakan bahwa
gender itu lebih seperti sphere,
kayak yang warna di Paint, tapi yang 3D. Berikut adalah kata-katanya.
“If someone isn’t a binary woman, that doesn’t make them less feminine necessary or more masculine. It doesn’t make them
slide closer to male on the spectrum. Just like if I make my color slightly
different than pink, it’s not necessarily more blue or more green-“ – The Rogue
Feminist from tumblr.
“Jika seseorang buka wanita binari (bukan binal loh), itu
tidak membuat mereka kurang feminin atau lebih maskulin. Itu tidak membuat
mereka lebih dekat ke laki-laki pada spektrum. Sama jika aku membuat warnaku
agak berbeda dari pink, itu tidak membuatnya lebih biru atau lebih hijau-“ The
Rogue Feminist from tumblr.
Get it?
Tidak hanya kalimat-kalimat transfobik yang bermasalah, tapi
kalimat-kalimat yang memaksakan peran dan ekspektasi gender pun harus
dihentikan.
“Tuh cowok kemayu
banget deh.”
“Aduh, cewek kok
ketawanya kayak genderuwo gitu.”
Emangnya ada yang salah ya kalau cowok tuh ‘kemayu’?
Emangnya kalau cowok kemayu, eksistensinya dia membuat lo terancam? Emangnya
kalau cewek ketawanya kayak genderuwo, vagina lo bakal menguap kayak barbie
gitu? (cr to buzzfeed for that joke)
Gue punya salah satu teman cowok yang di-bully karena dia dipandang sebagai kurang cowok (whatever the
fuck that means) daripada rekan-rekan cowoknya. In my opinion, memang dari sananya dia lebih gampang bergaul dengan
cewek daripada laki-laki. Fakta itu tidak membuat dia kurang cowok, atau bahkan
kurang maskulin.
Gue melihat dia berusaha untuk akrab dengan rekan-rekan
cowok di kelas gue. Gue sendiri bisa melihat kadang-kadang dia menyembunyikan
rasa sakitnya dia.
Truthfully, some of my
classmates think it’s a good idea to make my friend to be manlier or some shit like that. But let’s be real
here, membuat dia lebih ‘maskulin’ menghapus sebagian dari jati dirinya. And why would anybody think it’s a good idea
to erase a part of someone’s soul, especially if it doesn’t hurt anyone?
Kalau cerita ini gak membuat lo sadar bahaya dari gender roles reinforcement, you’re a
hopeless case.
Berhubung nih artikel panjang banget, makanya gue bagi jadi dua bagian. Semoga gue bisa update besok ya :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar