Novel ini....boleh dibilang novel distopia sih, itu pendapat saya loh. Tapi bagaimana sih cerita dari novel yang disebut-sebut sebagai salah satu novel kebangkitan sastra Indonesia? Cekidot....
Dimas Suryo, Risjaf, Nugroho Dewantoro, dan Tjai Sin Soe adalah eksil politik Indonesia di Paris. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang, diburu dan dicabut paspor Indonesia-nya karena dekat dengan orang-orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Di Paris, mereka tetap mencintai Indonesia, bertahan hidup layak sambil memberi manfaat bagi Indonesia dengan mengelola Restoran Tanah Air, sebuah restoran Rue Vaugirard di pinggir Paris. Restoran ini menyediakan makanan dan kegiatan yang mempromosikan Indonesia.
Dimas Suryo paling banyak mendapat sorotan dalam novel ini. Dilema eksistensial yang dihadapi diurai secara terperinci. Kerinduan pada Indonesia, kenangan cinta dengan Surti, hubungan suami-istri dengan Viviene yang rentan putus dan akhirnya cerai, serta kecemasan tak bisa pulang dan dikubur di Indonesia membelitnya. Di saat yang sama, ia harus bertahan hidup layak dan merawat Lintang, anak perempuannya, yang jadi penyemangat hidupnya. Tapi keinginan akhirnya adalah dikuburkan di tanah airnya, seperti yang sering ia ujarkan, "Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin" mengambil petikan dari puisi "Yang Terampas dan Yang Pupus" Chairil Anwar.
Topik kompleks yang dibawakan Leila S Chudori berhasil membuat saya terkagum-kagum. Latar tempat Indonesia dan Perancis dan juga latar waktu dengan suasana panas, yaitu September 1965, Mei 1968, dan Mei 1998 membuat novel ini semakin menarik. Tapi bukan berarti novel ini tidak bisa ditambah beberapa 'bumbu' seperti romance. Novel ini agak mengingatkan saya pada The Silence of the Lambs (Thomas Harris). Meningatkan saya pada The Silence of the Lambs karena novel memang bukan kisah nyata, tapi tokoh dan kata-kata yang mengalir, yang membutuhkan riset, membuat kedua novel ini terasa seperti kisah nyata. Thomas Harris membutuhkan waktu lama untuk mempelajari kriminologi dan beberapa pembunuh berantai. Ted Bundy adalah bahan utama dalam karakter Jame Gumb di buku Silence of the Lambs. Leila sendiri mewawancarai eksil politik yang sesungguhnya dan mempelajari peristiwa-peristiwa di Perancis dan Indonesia dari berbagai buku.
Yang saya puji juga deskripsi dari indra-indra karakter, terutama saat prolog, terasa seperti menonton film. Dimana perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman digunakan Leila untuk menangkap suasana terlihat biasa, namun mencekam. Dan juga transisi dari sudut pandang I dan sudut pandang III yang jarang digunakan, cara ini agak mengingatkan saya pada My Sister's Keeper (Jodi Picoult), tapi Picoult menggunakan sudut pandang I 100%, yang berubah hanya tokoh-tokohnya.
Akhirnya pun bagus. Akhirnya adalah apa yang akan saya deskripsikan sebagai klimaks yang anti klimaks. Mengapa? Baca saja bukunya! Pokoknya ending di buku ini bagus banget. Kenapa di klimaks karakter harus memilih? Bukankah tidak memilih juga memilih?
Mengambil latar tempat di Perancis bukan berarti harus ke tempat romantis seperti Menara Eiffel ataupun tempat yang religius seperti Notre Dame. Saya suka sekali latar-latar tempat yang sederhana. Karena seorang penulis yang baik tidak bergantung pada tempat yang terlalu terkenal untuk membuat cerita itu bagus.
Tapi, novel ini pun juga mempunyai beberapa kekurangan. Deskripsi tokoh-tokohnya cukup banyak yang too good to be true, inilah yang paling gue gak suka dari novel. Tokoh Surti, Dimas, Lintang, Alam, dan Vivienne cukup mustahil. If Leila put the too good to be true traits to maximum two characters, this novel would be more interesting. Dan juga beberapa tokoh dan karya sastra yang disinggung seakan-akan hanya ajang pamer pengetahuan Leila, menarik memang, tapi jika terlalu banyak terkesan pamer pengetahuan dan hanya memperbanyak halaman.
Selain ada beberapa bagian yang terlalu panjang, sebenarnya saya masih bingung dengan beberapa karakter-karakter yang ada di novel Pulang. Akan lebih baik jika Leila mempersedikit karakter-karakternya. Seakan-akan beberapa karakter-karakter ini ingin dikembangkan, tapi lebih kelihatan 'menggantung'.
Saya tahu jika ini novel untuk orang dewasa. Tapi sejarah yang menjadi alur novel ini tentulah bisa memperluas pengetahuan orang tentang sejarah. Seandainya Leila bisa seperti JK Rowling yang membangkitkan ketertarikan anak-anak dan remaja untuk membaca, novel ini akan lebih bersinar. Jadi agak kecewa, karena bukan hanya dewasa yang memerlukan bacaan bagus, tapi remaja juga. Saya harap Leila akan lebih memberi effort agar novel selanjutnya dibaca oleh remaja, karena dia adalah salah satu penulis terbaik Indonesia.
photo source : indonesiakreatif.net
sinopsis source : tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar